GROSIR BAHAN STEMPEL

Monday 16 September 2013

KAWASAN KIOS STEMPEL DAN KUNCI DI JOGJA

Lulusan SMP, Sukses Jadi Pengusaha Stempel

Jika diamati, banyak sukses berbisnis tanpa berbekal pendidikan tinggi. Ibaratnya, pendidikan formal mereka sangat minim. Bahkan, sekedar berbekal keahlian baca-tulis-hitung, mereka kemudian terus mengembangkan potensi diri sambil bekerja serta mencari sumber pengetahuan di luar pendidikan formal. Kesuksesan Jamaludin (41) , yang semula hanya sebagai pekerja di kios afdruk foto di seputaran Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) yang dahulu bernama Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga (IAIN SUKA), Yogyakarta, merupakan salah satu contohnya. Jamal yang hanya lulusan SMP kala itu, kini menjadi juragan stempel wilayah Jateng-DIY. Bagaimana asal mulanya?
Modal pemuda lajang asal Tegalrejo, Sindon, Ngemplak, Boyolali itu hanyalah kemauan kuat untuk mengubah nasib. Ketika lulus dari SMP Tahun 1992, dia langsung kerja jadi kuli bangunan. Kemudian, Jamal mendapatkan tawaran kerja dari tetangga yang memiliki kios afdruk foto di Yogya. Jamal pun tertarik. Dia pun segera pindah kerja ke Yogya untuk bekerja di kios afdruk tersebut.
Selama 5 tahun, Jamal bekerja di kios afdruk foto kecil berukuran lebih kurang, 2,5 x2,5 meter persegi, milik tetangganya tersebut. Suatu hari, ada teman sesame pengelola kios kaki lima menitipkan peralatan cetak stempel manual pada Jamal. Jamal pun iseng-iseng belajar membuat stempel manual. Selanjutnya, Jamal semakin rajin belajr seputar stempel dari para tetangga kios yang sudah lebih dulu membuka usaha jasa pembuatan stempel. “Selama 1 tahun, saya sempatkan belajar bikin stempel di kios tetangga,” kenang Jamal, ketika ditemui di salah satu kiosnya, di seputaran Demangan. Setelah merasa bisa, dengan modal Rp 800 ribu, yang merupakan uang tabungan hasil jerih payah bekerja di kios afdruk foto, Jamal memberanikan diri buka kios stempel sendiri. “Awalnya berat. Saya harus mencari pelanggan. Untung, ketika itu belum banyak orang buka jasa pembuatan stempel. Perlahan-lahan mulai ada pelanggan, mulai dari para mahasiswa, kantor pemerintah dan pengusaha,” kisahnya.
Di awal usahanya, perkembangan usahanya seperti jalan di tempat. Untuk memudahkan mengembangkan usahanya, Jamal lantas bergabung dengan Paguyuban Pedagang Kaki Lima Depok. Jaml pun segera menutup kiosnya di dekat jembatan Gadjah Wong dan bergabung dengan para Pedagang Kaki Lima (PKL) di kawasan Demangan, Yogyakarta. “Waktu itu, belum ada kios yang kosong. Makanya saya nebeng dulu di kios teman. Setelah 2 tahun, saya baru dapat kios. Lalu saya mulai buka usaha stempel sendiri dari nol,“ cerita anak sulung dari 3 bersaudara ini.
Ketika itu, omzet dari pembuatan stempel manual di kiosnya rata-rata Rp 2 juta per bulan. Guna mengembangkan usahanya tersebut, pada tahun 2000, Jamal mengikuti kursus membuat stempel cetak. “Waktu itu stempel cetak masih dimonopoli segelintir pengusaha. Belum banyak kios yang melayani pembuatan stempel cetak. Maka, ketika ada kesempatan kursus stempel cetak, saya langsung ikut, meski biayanya mahal. Saya yakin bahwa ilmu tentang stempel cetak akan sangat berguna, jadi saya harus berusaha mendapatkan ilmu tersebut,” ungkapnya.
Setelah melahap ilmu stempel cetak, Jamal segera membuka jasa pembuatan stempel cetak, tanpa meninggalkan stempel ukir. Ternyata setelah membuka jasa pembuatan stempel cetak tersebut, pelanggannya semakin meningkat. Menurut Jamal, penyebabnya adalah stempel cetak hasilnya lebih halus dan praktis. Maka, banyak perusahaan yang semula menggunakan stempel manual, beralih ke stempel cetak. Untuk Menekan biaya produksi, Jamal punya inisiatif mencari informasi tentang tempat-tempat yang menjual bahan stempel cetak yang murah di daerah Solo. Dan akhirnya Jamal menemukannya. Awalnya, dia hanya belanja bahan stempet hanya untuk keperluan kiosnya. Tapi setelah melakukan survey, ternyata harga bahan stempel yang dia punya paling murah dibandingkan tempat lain. Maka, Jamal berpikir, mengapa tidak mengembangkan peluang tersebut menjadi distributor bahan stempel cetak? Jamal lalu mulai mengumpulkan modal. Dari tabungan hasil jualan stempel, ditambah Kredit yang dia peroleh, terkumpul modal sekitar Rp 70 juta. Uang itulah yang ia pergunakan sebagai modal menjadi distributor.
Tak hanya ‘berhenti’ hingga menjadi distributor penjualan bahan stempel, Jamal pun mencoba merakit mesin stempel cetak sendiri. Hasilnya, dia bisa memproduksi mesin cetak yang jika dibeli di pasaran berharga Rp 8 juta per unit, maka harga mesin cetak buatan Jamal hanya berharga Rp 2.5 juta per unit! Feeling business-nya ternyata tak meleset. Banyak kios stempel membeli bahan dan mesin cetak dari Jamaludin. Saat ini, mitra kerjanya juga sudah menyebar di seluruh Indonesia. Di Yogya saja, Jamal mempunyai mitra sebanyak 50 orang.
Buah kerja kerasnya sekarang sudah bisa dirasakan Jamal. Ia bisa membiayai pendidikan kedua adiknya hingga tamat perguruan tinggi. Kini, dibantu 5 karyawannya, Jamal mempunyai total 3 kios (2 kios dikawasan PKL Depok Demangan, Yogyakarta dan 1 kios di Jl. Magelang, Yogyakarta). Jamal pun sering didaulat menjadi mentor untuk pelatihan membuat stempel. “Siapa bilang pedagang stempel itu orang kecil. Asal dilakukan dengan telaten dan sungguh-sungguh, hasilnya juga akan maksimal. Itu kuncinya. Banyak orang yang berpendidikan tinggi atau mempunyai banyak uang, namun belum bisa mengembangkannya dan gagal dalam berbisnis. Jadi, paling penting bukan modal uang, melainkan niat,” pungkas pria yang ingin segera mengakhiri masa lajangnya ini

No comments:

Post a Comment